OLEH: ERSA FERMATA SARI
Kita semua pastilah merindukannya. Berjalan bersama menuju sekolah tercinta, bebas bercanda, saling bertukar cerita, melihat senyum merekah di wajah sahabat tanpa perlu terhalang masker yang tak bisa membuat kita bernapas lega. Rasanya seperti waktu yang telah lama berlalu. Masa SMA di masa sebelum pandemi pastinya menjadi masa paling membahagiakan, penuh cerita yang mewarnai masa remaja nan cerah kini berubah menjadi sesuatu yang tak pernah sedikitpun terlintas di dalam benak kita semua.
Tak menganggap serius ketika pandemi pertama kali terjadi. Banyak diantara kita yang malah meresponnya dengan setengah hati dan terkadang diselipi nada bercanda. Tak benar-benar awas bahwa sesuatu yang berbahaya tengah mengancam kami, memukul tumbang segala sendi kehidupan. Dunia merasakan dampaknya, tak terkecuali Indonesia, bahkan kami juga yang berada di daerahpun tak luput dari imbasnya. Semakin hari bukannya semakin mereda, malah semakin tinggi tingkat keparahan dan penyebarannya dengan berbagai nama juga tingkat resiko berbahayanya.
Pada awalnya barangkali rasanya seperti liburan, tak masuk sekolah berhari-hari adalah kebijakan tiba-tiba yang selanjutnya malah terasa menjungkir balikan dunia kita yang tadinya baik-baik saja. Siapa kita di sini yang pernah mendambakan bisa seharian memegang gawai? Dan rasanya seperti keajaiban ketika keinginan itu menjadi nyata, hanya saja sayangnya, seharian memegang gawai untuk belajar dan mengerjakan tugas rasanya tak semenyenangkan memainkan gawai untuk berselancar di mesin pencari, scrolling media sosial, atau bermain game. Siapa di sini yang tak frustasi pada awalnya ketika belajar daring dimulai?
Hampir dua tahun, kelas berganti, berpisah dengan kakak kelas, menyambut adik kelas tanpa bisa berkenalan, akhirnya titik terang itu datang dalam bentuk instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2021 mengenai Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro menyatakan, kabupaten/kota di luar zona merah dapat melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan pengaturan teknis dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas yang akan dilaksanakan ini berbeda dengan sekolah biasa seperti sebelum pandemi Covid-19 menyerang. Walau merindukan masa indah yang terasa seperti berjuta tahun cahaya silam, setidaknya asal dapat kembali bersekolah, dengan embel terbatas-pun rasanya tak mengapa.
Kabut masih menyelimuti pagi yang pelan-pelan terbangun oleh celotehan dan derap langkah penuh semangat siswa-siswi Ganessa− julukan bagi sekolah kami, akronim dari Gagasan Nekat Sampai bisa. Setelah sebelumnya, kami dipaksa belajar kembali dari rumah, karena salah seorang teman kami terkonfirmasi positif, satu shift kelas dan enam orang guru harus menjalani isolasi mandiri. Akhirnya, Senin 16 Agustus 2021 kami harus kembali padanya, rindu untuk bertemu pada ilmu,teman dan para guru. Melepas rindu pada teman walau tetap harus patuh untuk tak saling berdekatan atau bahkan sekadar berjabat tangan. Biarpun kata mereka, setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa belajar di kelas, menghadap papan tulis, dan duduk di bangku kayu, serta berusaha bersikap disiplin terasa lebih mengena untuk kami sebagai siswa.
Di depan gerbang, Bapak dan Ibu Guru telah bersiap menyambut kami beserta satgas kesehatan dari teman-teman UKS. Kami memasuki sekolah seperti barisan semut pekerja, rapi, tertib, dan berada di jarak aman yang disarankan. Secara bergantian kami akan diukur suhu badan, jika berada di suhu normal kami bisa melanjutkan untuk mencuci tangan, untuk kemudian menuju kelas, membersihkan, merapikan dan mempersiapkan kelas agar siap untuk difungsikan sebagai tempat belajar yang nyaman.
Tepat pukul tujuh, setelah gerbang ditutup, kami akan menuju lapangan tempat kegiatan pembinaan karakter akan dilaksanakan. Berbaris dalam jarak aman, kami siap menerima arahan, nasehat, dan motivasi dari Ibu Kepala Sekolah, Warli Fatriani, S.Pt. Beliau ingin memastikan kami bisa menjadi siswa yang berkarakter baik, beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur, dan menghidupkan kegembiraan belajar. Bermandikan cahaya matahari pagi dan menghirup udara segar, baik bagi jasmani dan rohani kami.
Kembali ke kelas, siap menerima pembelajaran. Kami memulainya pukul setengah delapan. Setiap kelas berisi seperdua dari jumlah siswa di kelas, sisanya akan masuk di shift kedua nanti yang dimulai pukul 10.15. Masing-masing pelajaran kecuali Matematika wajib diberi porsi 1X45 menit, dan dalam sehari kami belajar selama 3X45 menit di hari Senin hingga Kamis dan 2X45 menit pada Jumat dan Sabtu. Tanpa jeda istirahat atau sekadar bercengkrama di kantin sekolah bersama teman-teman. Apakah pembelajaran sesingkat itu bisa maksimal? Tentu tidak bagi kami sebagai siswa. Tapi disisi lain Ibu Bapak guru kami mengusahakan agar semua pembelajaran yang kami terima bermakna dan berguna untuk masa depan kami. Pembelajarannya dilakukan secara terpadu/blended learning dan beberapa pembelajaran menggunakan kurikulum darurat. Pihak sekolah sudah mengusahakan semuanya dengan kebijakan terbaik yang bisa dilakukan.
Apakah kami kesulitan beradaptasi dalam masa pandemi ini? Sulit tapi bukan berarti tidak bisa. Pandemi ini mengajarkan kami banyak hal, sebagai pelajar bahwa kami harus mau keluar dari zona aman, berani mencoba berbagai tantangan, tak takut pada berbagai kemungkinan yang akan terjadi, berkarib dengan teknologi, meningkatkan kompetensi diri, mempertajam kecerdasan spiritual, sosial, emosional, dan kreativitas tak kalah penting, menjadi pribadi yang lebih manusiawi, penuh empati dan simpati, dan bersedia bertoleransi. Pandemi mungkin tak berakhir dalam waktu dekat akan tetapi kami telah belajar untuk menghadapi dan beradaptasi. Seperti yang dikatakan Charles Darwin, bukanlah makluk yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan, tapi mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan.